Minggu, 18 November 2012

Maniak Belanja ? Yok ke Guang Zhou !!! (3)

Maniak Belanja ? Yok ke Guang Zhou !!! (3)

     Bagi Anda yang hobi belanja, tentu pernah mendengar kota satu ini. Sebagian besar produk pakaian, tas, dan barang lain yang masuk ke Indonesia berasal dari tempat ini. Dengan berbagai fasilitas pendukung yang memadai dan harga murah, cukup pantas jika kota ini dianggap sebagai salah satu surga bagi para penggila belanja. 

   
     Dari perkiraan, jadwal pulang terpaksa mundur beberapa hari. Karena kondisi kesehatan Om yang masih belum memungkinkan. Dokter di rumah sakit belum mengizinkan untuk dibawa pulang. Memaksakan diripun percuma, karena fihak imigrasi dan bandara tidak akan memberikan izin jika penumpang dalam kondisi kesehatan tidak layak untuk penerbangan, apalagi tanpa surat resmi dari rumah sakit. Kami pun hanya bisa menunggu hingga kondisi kesehatan Om segera membaik. 
      Di samping kanan rumah sakit, ada jalan menanjak yang ramai dilewati. Jalan tersebut lebar dan mulus-seperti jalan-jalan yang saya jumpai disana selama beberapa hari ini-namun hanya ramai dilalui pejalan kaki, hampir tak ada mobil yang lewat. Karena penasaran, sambil berjalan kaki mencari sarapan Saya mencoba menyusuri jalan ini. Diteduhi pohon-pohon besar dan cantik, saya melalui banyak toko penjual makanan ringan dan teh Cina yang terkenal. Tak lama Saya akhirnya menjumpai suatu pintu gerbang. Hari itu bukan hari libur, tapi kenapa tempat itu ramai sekali. Beberapa orang saya lihat antri membeli tiket. Dari poster yang ada disitu, saya menduga tempat ini pasti suatu tempat wisata. Setelah membeli beberapa roti dan sebotol air minum untuk bekal, saya pun membeli tiket masuk. Harganya murah.


    Setelah gerbang masuk, Saya melihat para pengunjung menuju ke suatu tangga. Tangga tersebut dibuat dari susunan batu alam yang ditata cantik. Saya pun mengikuti pengunjung lain menaiki tangga tersebut. Setelah sekitar lima belas menit mendaki, tak ada tanda-tanda tangga tersebut akan berakhir. Dada saya ngos-ngosan karena lelah, kepala agak pusing karena memang belum sarapan. Saya melihat ada bangku dan akhirnya memutuskan istirahat dulu disitu.  Sambil menikmati roti dan minum air yang segar, saya mengatur kembali nafas yang terengah-engah. Terlihat tak henti orang berduyun-duyun terus mendaki tangga ke atas. Hanya saya yang duduk beristirahat. Beberapa manula lewat dan mendaki bersemangat sambil berbincang gembira dengan teman-temannya, tak ada tanda kelelahan di wajah mereka. Sebenarnya ada sedikit rasa malu saat melihat kebugaran para manula, ini mungkin akibat saya sudah lama tidak berolahraga. Mendaki tangga pun sudah jarang sekali, jika ada lift selalu itu yang saya pilih. 




       Masih ngos-ngosan, saya melihat ke arah atas. masih juga tak tampak dimana ujung tangga ini berakhir. Sempat terfikir untuk turun saja, daripada saya mati kehabisan nafas. Tapi Saya memutuskan untuk istirahat dulu memulihkan tenaga, sebelum nanti memilih apakah terus mendaki atau turun kembali. Karena untuk berjalan turun pun, rasa nya tenaga sudah tak kuat lagi. 
      Setelah nafas normal kembali, saya memutuskan mendaki lagi. Tapi saya berjanji, kelak tak kan lagi saya mendaki seperti ini. Mendaki gunung -walaupun menggunakan tangga- bukanlah wisata yang saya sukai. Tak pernah sekalipun saya mendaki gunung dengan berjalan kaki. Saya pernah naik ke Tangkuban Perahu, tapi mobil yang membawa saya mendaki. Pernah juga ke Gunung Agung, toko buku. 
       Setelah cukup lama mendaki -diselingi beberapa kali istirahat hampir kehabisan nafas- akhirnya sampai juga saya di ujung tangga. Ternyata di atas gunung ini ramai sekali, seperti pasar. Mulai dari anak-anak sampai orang tua ramai disini. Baiyun Mountain, begitu terbaca tulisan di papan nama. 

        Penduduk Negara Cina memang banyak sekali. Walaupun bukan hari libur, tempat ini penuh dan semarak. Mungkin kalau hari Minggu, bisa-bisa tempat ini seperti Pasar Tanah Abang.
          Beragam aktifitas dilakukan pengunjung. Ada yang bermain bulu tangkis, bernyanyi bersama, maupun hanya duduk-duduk bersenda gurau. Berbagai fasilitas sudah disediakan. rumah makan, tempat jajan, dan berbagi wahana permainan anak-anak, malah ada yang membawa bayi.
           Eittss nanti dulu....bayi ? anak-anak ? bagaimana mereka bisa naik kesini ? Kuat sekali orang tuanya menggendong. Trus segala bangunan di atas sini gimana membawa materialnya ? Pedagang-pedagang itu, apa mungkin mereka setiap hari mendaki tangga ke atas sini sambil membawa barang dagangan ? Jalan mulus ini, bagaimana membuatnya di atas sini ? 
         Pertanyaan saya terjawab setelah berjalan beberapa ratus meter. Tampak terlihat beberapa mobil parkir. Berarti mobil bisa naik ke gunung ini. Dari denah besar yang dipampangkan besar di dekat tempat parkir, saya baru tahu bahwa ada cara lain untuk naik ke puncak gunung ini. Ternyata ada beberapa pintu masuk menuju ke atas sini. Salah satunya bisa dengan membawa mobil sendiri atau naik bis yang disediakan (bahkan akhir-akhir ini sudah ada Cable Car atau kereta gantung untuk mencapai puncak). Pantas saja segala umur ada di atas sini. Rupanya jalan yang saya lalui tadi, diperuntukkan bagi pengunjung yang sengaja ingin mendaki. Para manula dan penggemar olahraga memilih rute tadi untuk sekalian berolahraga. Waduuuh...kali ini saya kena batunya. Biasanya saya mau yang enaknya saja. Kalau ada tempat wisata, biasanya mana mau saya memilih yang susah. Ya sudahlah, mau diapakan lagi. Yang penting sudah sampai di atas ini. 

   Meriahnya suasana di atas gunung menemani saya menormalkan nafas. Sambil menikmati sisa roti yang saya bawa, saya duduk asyik menonton para pengunjung bergembira. Para manula perkasa yang ditangga tadi 'mempermalukan' saya, terlihat ceria bernyanyi bersama. Anak-anak berlari menikmati sejuknya udara gunung. 
    Ada pengunjung yang bersantai di cafe-cafe. Ada yang memilih duduk-duduk dibawah rindangnya pohon. Semuanya ceria.
    Rasa lelah yang saya rasakan mulai berkurang. Sambil berdiri saya memandangi indahnya Kota Guang Zhou jika dilihat dari puncak Gunung Baiyun.  Gedung-gedung pencakar langit tampak kecil .Wah, berarti gunung ini tinggi sekali. Pantas kalau saya tadi sampai ngos-ngosan mendakinya (fikir saya membela diri). 
     Mungkin saya tidak akan merasa pemandangan seindah ini, jika tadi saya sampai di puncak dengan cara naik mobil (fikiran saya berkata lagi). Tapi, seandainya memang saya suatu saat kesini lagi, biarlah saya mencari cara yang paling mudah.  Lagipula, saya kan sudah pernah mencoba rute yang paling sulit. Jadi, cukuplah sekali seumur hidup dengan cara tadi hehehe...
      Hari makin siang, saya teringat untuk kembali ke rumah sakit lagi. Siapa tahu ada berita baik hari ini. Akhirnya saya berjalan turun. Wah, luar biasa lelahnya hari ini. Mudah-mudahan tak akan terlupakan selama hidup...


      

     









Ket. Beberapa foto di halaman ini diunduh dari Google

Maniak Belanja ? Yok ke Guang Zhou !!! (2)

Maniak Belanja ? Yok ke Guang Zhou !!!   (2)

   Bagi Anda yang hobi belanja, tentu pernah mendengar kota satu ini. Sebagian besar produk pakaian, tas, dan barang lain yang masuk ke Indonesia berasal dari tempat ini. Dengan berbagai fasilitas pendukung yang memadai dan harga murah, cukup pantas jika kota ini dianggap sebagai salah satu surga bagi para penggila belanja.

       Waktu baru menunjukkan pukul 4 pagi, saat tante memberitahu bahwa sudah waktunya Salat Subuh. Di Guang Zhou, matahari terbit pukul 5 pagi, jadi secara logika, Pukul 4 sudah masuk waktu subuh. Ini hanya perkiraan saja, karena jangan harap mendengarkan suara azan di tempat ini.mau bertanya, nggak tahu kemana. Sedangkan di sore hari, matahari baru terbenam Pukul 7. Pukul 6 sore masih terang benderang. Jadi siang hari disini panjang sekali. Jika berpuasa disini, pastilah harus lebih lama dibanding di tanah air.
     Pukul 6 pagi, jalan di depan rumah sakit sudah ramai. Pejalan kaki hilir mudik tak henti. Penduduk Negara Cina memang banyak sekali. Jumlah penduduk lebih dari 1 Milyar membuat hampir semua tempat terlihat padat. Hampir semua orang berjalan kaki atau memakai sepeda. Sepeda motor dilarang disini. Hanya 1 atau 2 terlihat di jalan, itu pun motor dinas Polisi. Untunglah transportasi masalnya sangat bagus. Bis-bis nyaman bertenaga listrik dengan ongkos murah hilir mudik tak henti. Semua kalangan memanfaatkan sarana transportasi ini.  
     Penduduknya tinggal di flat-flat, yang kalau di negara kita disebut rumah susun. Di lantai terbawah dipakai sebagai tempat berdagang. Semuanya dimiliki pemerintah. Sebagai negara komunis, hampir semua properti dimiliki negara. Rakyat harus menyewa kepada pemerintah. Tak heran jika di parkiran flat kumuh, tampak jejeran mobil mewah. Walau memiliki uang, peraturan tak memungkinkan rakyat untuk memiliki properti. Satu flat diperuntukkan untuk satu keluarga. Ayah ibu dan seorang anak. Tidak perlu bertanya tentang anak disini. Semua pasangan hanya boleh memiliki satu anak.  
     Nilai tukar mata uang Yuan yang dijaga rendah membuat produk Cina merajai perdagangan dunia. Satu koin kecil Yuan yang saya pegang pun, ternyata bisa dipakai untuk membeli es krim wals. Jadi, hampir setiap hari Saya membeli es krim ini. Tak peduli cuaca dingin.Mumpung murah :-)...
     Cuaca -jam berapapun- selalu dingin di Guang Zhou. Siang hari pun seolah kita sedang pagi hari di Perkebunan Teh Puncak Bogor. Tanaman tampak seolah terus menerus berembun, seolah tempat ini tak henti diguyur gerimis.
     Di samping kanan rumah sakit ada toko yang menjual kue berisi kacang ijo. Rasanya  sungguh enak sekali. Tak enak pun sebenarnya tetap juga akan saya beli. Karena hanya itu makanan halal yang bisa dimakan untuk sarapan.



     Di seberang rumah sakit ada Pasar Tradisional Sahe. Pasar ini ternyata pusat penjualan produk tekstil di Kota Guang Zhou. Ramai pedagang menawaran baju, celana, dan aneka pakaian dalam. Harganya murah sekali. Selembar Baju kaos bisa didapat dengan harga 8-10 ribu rupiah (jika di kurs).   Uang lima puluh ribu rupiah bisa dipakai untuk membeli 3 potong celana panjang. Karena tak mengerti bahasa Cina, tawar menawar harga dilakukan dengan menunjukkan angka di kalkulator. Pedagang mengetikkan harga tawaran, saya mengetikkan harga yang diinginkan. Banyak orang Afrika berbelanja disini. Mereka membeli pakaian dalam jumlah besar untuk dijual kembali di negaranya. 
      Masalah makan yang menjadi kendala di Kota ini. Sulit mencari makanan halal disini. Walau harga murah, saya ragu untuk membeli makanan di sini. Kebiasaan warga Cina saat makan sungguh unik. Mereka terbiasa makan dari pedagang asongan, dan dinikmati sambil berdiri bahkan berjalan di trotoar. Laki-lakinya sering melepas baju dan mengikatkannya di kepala. Sambil bertelanjang dada, mereka mengunyah potongan besar semangka sambil berjalan. Tak risih mulutnya belepotan. Laki-laki dan perempuan tingkahnya sama saat makan. Tak ada norma yang melarang mereka mengunyah makanan sembarangan sambil tertawa di pinggir jalan. Perempuan berdandan cantik pun tak risih mengunyah makanan sampai belepotan. 
      Masyarakat Guang Zhou adalah para pekerja keras. Laki-laki dan perempuan terbiasa menarik lori pengangkat barang. Jumlah penduduk besar membuat persaingan hidup sangat tinggi. Jika ingin bertahan hidup, mereka harus bekerja ekstra keras. 
      Dengan penduduk sangat padat, ternyata  kota ini tetap aman. Tak terlihat ada kejahatan, bahkan sekadar copet disini. Menurut cerita pegawai RS, penegakkan hukum sangat tegas di Cina. Karena itu, tingkat kriminal sangat rendah disini. Hampir tak ada yang berani berbuat kriminal di jalan. Apalagi korupsi ya ?
     Pedagang kaki lima ternyata juga ada disini. Kerasnya persaingan hidup membuat orang nekat berjualan di tempat yang dilarang. Namun para pedagang kaki lima ini, sangat takut dengan Petugas Civil Administration (Polisi Pamong Praja/ POL PP kalau di Indonesia). Jika ada petugas yang datang -walaupun hanya dua orang- mereka tidak akan melawan, tapi memilih lari pontang panting. Bila perlu barang dagangannya ditinggalkan begitu saja. Petugas disini berbeda dengan di negara kita. Jika di Indonesia, POL PP mengincar barang dagangan PKL untuk disita (dan bisa ditebus lagi dengan membayar denda). Di Cina petugas mengincar si Pedagang liarnya. Jika tertangkap, maka pelaku akan dipenjarakan, sedangkan barang-barang dagangannya ditinggalkan begitu saja. Petugas disini-menurut cerita-tidak bisa disuap (Jangankan menyuap, memberikan tips pada pegawai hotel atau pegawai rumah sakit bisa dianggap penghinaan di negara ini. Bukannya berterima kasih, mereka bisa marah dan melaporkan kita karena dianggap tidak menghargai profesi mereka. Sebagai negara komunis, status semua orang sama. Tidak ada orang yang boleh menganggap dirinya lebih terhormat hingga bisa menghina orang lain).  Pantas saja jika ada petugas, pedagang kaki lima memilih pontang panting lari meninggalkan barangnya.
    Pasar Sahe cukup luas. Sebagai pasar grosir, pedagang biasanya tidak mau jika kita hanya membeli 1 buah. Mereka hanya melayani minimal pembelian 3 buah barang. Tempat berjualan ada 2 macam. Ada pedagang yang menempati kios-kios, ada pula yang menggelar dagangannya dengan terpal saja, seperti pasar kaget di Indonesia. Murahnya harga membuat Saya terkagum-kagum keheranan. Mungkin biaya tenaga kerja dan harga bahan baku yang murah yang membuat mereka bisa banting harga. Faktor lainnya tentunya karena nilai tukar mata uang Yuan yang rendah.  Rasanya uang yang kita bawa, menjadi sangat-sangat berharga.
     Jika ingin lebih nyaman, di sebelah Pasar Sahe ada jejeran Plaza. Di gedung tersebut kita bisa berbelanja dengan lebih nyaman. Konsep pertokoan modern, bersih dan berpendingin udara. Barang-barang pun ditata rapi dan menarik. Pembeli Afrika banyak berbelanja kesini. Pembelian partai besar dapat dilayani disini langsung dengan bantuan layanan pengiriman ke negara tujuan. Sepertinya di gedung ini diperuntukkan bagi pedagang yang sudah mapan. Namun untuk pembelian eceran, pedagang di plaza ini mematok harga lebih tinggi jika dibandingkan pasar Sahe.
      Jika ingin berbelanja barang elektronik, sepatu, tas maka kita harus pergi ke pertokoan modern. Semua barang adalah produk Cina. Berbagai jenis barang bermerek palsu tersedia lengkap. Segala merek HP, pakaian, tas dengan bentuk mirip aslinya, dapat dibeli dengan harga sangat murah. Mobil meawah palsu pun ada. Barang imitasi ini pun ternyata ada kelas-kelasnya. Yang sangat murah, secara kasat mata ketahuan palsunya. Dengan harga yang lebih tinggi, kita bisa membeli barang yang hampir sama persis aslinya. Untuk harga tersebut, proses pembuatan lebih rapi dan bahan yang digunakan memang berkualitas tinggi.
       Batu Giok mudah ditemukan disini. batu ini pun tersedia dengan berbagai kelas harga. Jika membeli di toko, kita harus menebus batu giok dengan harga ratusan ribu hingga jutaan (Jika di kurs ke rupiah). Namun jika ingin yang murah meriah, banyak pedagang kaki lima menjual Batu Giok cantik dengan harga puluhan ribu saja.
         Jika capek berbelanja, banyak sekali tempat jajanan di kota ini. Hanya saya kesulitan menemukan tempat penjualan makanan halal. KFC dan McD Cina juga ada. Tapi disini hanya menyediakan saos tomat, toko-toko ini tidak menyediakan saos sambal seperti di Indonesia. Menurut penduduk disini, Pedasnya sambal seperti yang biasa dikonsumsi orang Indonesia tidak baik bagi kesehatan mereka. Bisa menyebabkan sakit tenggorokan katanya. Padahal masakan di Cina malah menggunakan merica dalam jumlah luar biasa. Mereka tidak memakai cabe, tapi semua menu ditaburi merica bubuk yang pedasnya minta ampun. Jika dimakan, tidak hanya lidah kita yang kepedasan, perutpun bisa terasa radang dibuatnya. Lain padang, lain belalang.

    Untuk Salat Jumat, kami harus naik bis. Di dekat konsulat RI terdapat hutan kota, yang ditengahnya ternyata ada tempat ibadah bagi umat muslim. Sebagai negara yang penduduknya banyak tidak beragama, aktifitas ibadah dianggap hal sensitif. Bangunan tempat umat Islam beribadah berbentuk kelenteng, tempatnya tersembunyi dan hanya bisa dijangkau setelah beberapa menit berjalan kaki menembus hutan kota. Salat Jumat di negara dimana umat Islam adalah minoritas ternya nikmat sekali. Rasa persaudaraan sesama muslim terasa sekali. Jamaah dari berbagai negara berkumpul disini. Bagi jamaah perempuan disiapkan tempat khusus. Jamaah perempuan disini tidak menggunakan mukenah seperti muslimah di tanah air. Mereka mengenakan hijab (jilbab) dan berpakaian biasa. Walaupun saat itu hujan turun deras, tidak mengurangi kekhusukan kami beribadah.


      Selesai salat Jumat saya berjalan meninggalkan hutan kota. Dengan baju basah kuyub, Saya berjalan bergegas kedinginan. Ternyata di bagian luar hutan tersebut berkumpul pedagang muslim. Setiap hari jumat mereka berdagang berbagai makanan halal dari berbagai negara. Sayangnya tidak ada makanan dari Indonesia. Namun lumayan, paling tidak bisa mencicipi makanan halal dengan hati tenang. Setelah makan, Saya dan beberapa teman kembali naik bis menuju rumah sakit (Bersambung...).
     















Ket.Gambar pertama dan gambar KFC yang kedua diunduh dari Google.
      

Maniak Belanja ? Yok ke Guang Zhou !!!

Maniak Belanja ? Yok ke Guang Zhou !!!

      Bagi Anda yang hobi belanja, tentu pernah mendengar kota satu ini. Sebagian besar produk pakaian, tas, dan barang lain yang masuk ke Indonesia berasal dari tempat ini. Dengan berbagai fasilitas pendukung yang memadai dan harga murah, cukup pantas jika kota ini dianggap sebagai salah satu surga bagi para penggila belanja.

       Pagi-pagi Saya sudah tiba di Bandara Soekarno-Hatta, bergegas masuk karena jam 8 pagi pesawat Batavia Air sudah akan take off. Seperti biasa prosedur Bandara, pemeriksaan barang yang tak begitu ketat dan pemeriksaan imigrasi. Tak lama sudah berada di ruang tunggu. Tak ada satu pun orang yang kenal, tak apa. Justru itu tantangannya, disitu indahnya perjalanan.  Life is an adventure.
      Lalu terdengar di pengeras suara, panggilan untuk memasuki pesawat. Syukurlah tepat waktu. Saya pun segera bergegas masuk. Pesawat penuh. Ternyata banyak juga yang akan ke Guang Zhou. Beberapa berbahasa Indonesia, sebagian mandarin, sisanya nggak tahu ngomong apa. Terserahlah...
      Tak lama pesawat berangkat, Pramugari dengan cekatan membagikan makanan. Wah, di pagi hari sudah diberi makanan berat. Nasi dan ayam teriyaki serta buah semangka. Makan besar nih. Padahal waktu belum menunjukkan pukul 9 pagi, sedangkan tadi sebelum berangkat sudah sarapan pagi. Melihat penumpang lain bersemangat menyantap makanan, jadi menular rasa lapar. Mungkin mereka belum sempat sarapan di rumah tadi. Tak apa makan lagi, lauknya terlihat enak. Nanti siang pasti menunya lebih mantap lagi. Sekejap hidangan yang disajikan langsung tandas.
     Penerbangan Jakarta-Guang Zhou direncanakan sekitar 5 jam. Jadi mungkin kami akan tiba jam 1 siang nanti. Untung tadi disediakan koran, lumayan untuk membunuh waktu. Perjalanan kali ini bukanlah jalan-jalan, salah seorang Om ku, adik ayahanda tercinta yang sedang berobat di salah satu rumah sakit di Guang Zhou harus di dampingi tenaga medis jika ingin kembali ke Indonesia.  Guang Zhou adalah sebuah Kota yang terletak di Provinsi Guang Dong, Cina. Disamping kota belanja, kota ini juga dikenal sebagai salah satu kota pusat pengobatan di Cina.
      Begitulah kebijakan Pemerintah China jika pasien yg berobat kesana, dianggap kondisi kesehatannya tidak memenuhi syarat untuk ikut penerbangan. Karena membayar tenaga medis China untuk mengantar ke Indonesia mahalnya luar biasa, saya harus berangkat untuk menjemput Om tercinta.
       Jam di tangan menunjukkan jam 12 saat Pramugari membagikan paket makan siang. Astaga... hanya 2 buah kue kecil dan segelas air mineral.  Tak disangka seperti ini kejadiannya. Melihat menu sarapan tadi, saya mengira akan mendapat menu makan siang porsi Jumbo. Penumpang lain juga tampak saling pandang kebingungan. Ya sudah, karena perut sudah mulai lapar apapun disikat. Jam 1 siang pesawat mendarat di Guang Zhou. Para penumpang berdesakan turun. Tak hanya di Indonesia saja rupanya, dimana-mana penumpang pesawat sepertinya memiliki karakter yang sama. Saat turun dari pesawat mereka selalu bergegas seperti PKL di kejar Pol PP. Entah apa yang diburu,...selalu seperti itu. Padahal, nanti mereka tetap saja harus antri menunggu bagasi. Tanpa bagasi pun, mereka nanti hanya akan cengar cengir mengobrol dengan penjemputnya di luar bandara, ngobrol ngalor ngidul tak tentu arah. Bahkan ada yang duduk santai menunggu datangnya bis bandara. Trus mengapa mereka tadi terburu-buru ya ? Bahkan biasanya saat pesawat belum sungguh-sungguh berhenti, banyak penumpang yang sudah bangkit dari tempat duduknya,-tak hirau dengan pengumuman pramugari untuk tetap duduk dan tidak membuka pintu bagasi- tak sabar berdesakan keluar,seolah takut tidak kebagian zakat. padahal pintu pesawat belum dibuka (jadi mau keluar lewat mana?). Hingga saat ini, tak pernah Saya menemukan jawabannya...
      Mau tak mau, Saya harus mengikuti langkah kaki mereka. Bukan karena terburu-buru. Ini Guang Zhou bung, tak satu huruf pun petunjuk arah di bandara itu yang Saya tahu maksudnya. Saya harus tetap mengikuti rombongan penumpang yang setengah berlari tergesa-gesa. Karena sambil menyeret dua koper ukuran besar (karena ada titipan barang yang harus saya bawa), terpaksa Saya tertinggal dari rombongan. Sejenak kebingungan, Saya terus berjalan dan tak lama akhirnya terlihat antrian orang di depan. Tak salah lagi, itu rombongan penumpang yang sepesawat tadi. Rupanya mereka harus antri dengan manis, diperiksa satu persatu oleh petugas imigrasi China. Setiap orang diperiksa dengan teliti,sehingga perlu waktu lama sekali untuk melalui tahapan ini. Lalu mengapa tadi penumpang terburu-buru ya?...
                
      Di luar pintu bandara, penjemput dari rumah sakit sudah menunggu. Petugas tersebut membawa kertas bertuliskan nama Saya. Untunglah,... kalau dia terlambat, tak terbayang betapa menjemukan suasana menunggu di tempat asing yang penuh tulisan seperti cacing ini.  Saya pun diantar ke bis penjemput bersama beberapa penumpang lain. Ternyata bukan hanya Saya di pesawat tadi yang akan menuju ke rumah sakit itu. Namun karena sama-sama tak tahu, baru saling menyadari saat sudah berada di dalam bis penjemput.
      Bandara Guang Zhou sungguh besar dan cantik. Melihat tempat itu, bandara Soekarno-Hatta -yang selama ini saya anggap sangat besar-  menjadi tampak kecil. Dengan bangunan modern yang megah, ribuan penumpang yang lalu lalang, seperti tak ada apa-apanya dibandingkan kapasitas bandara ini. Ribuan penumpang dari berbagai negara datang dan pergi disini. 
        Perlahan supir bis membawa kami perlahan meninggalkan bandara. Bis dipacu kencang namun stabil, tetap aman dengan kondisi jalan yang lebar dan mulus. Pepohonan hijau di kanan kiri jalan. Teduh dan berdaun unik, jenisnya tak pernah saya lihat di Indonesia. Cuacanya seolah selalu mendung dan gerimis. Dingin sekali... Mungkin seperti di Lembang Bandung atau di Puncak Jawa Barat saat pagi hari. Kota Guang Zhou beriklim subtropis, ini pasti yang menyebabkan vegetasinya berbeda dengan Indonesia. 
     Karena penasaran, saya bertanya kepada penterjemah. Jalan lebar mulus seperti ini -seperti Jalan Tol ukuran jumbo jika di Indonesia- apakah memang bebas biaya? Sejak tadi, tak sekalipun saya melihat Pak Sopir membayar saat berpindah ruas jalan. Sang penterjemah menjelaskan, jalan yang sejak tadi dilalui memang Jalan Tol. Saat pertama dibangun memang kendaraan yang lewat harus membayar,  namun setelah beberapa tahun dan dianggap biaya pembangunan jalan sudah impas (BEP) maka jalan tersebut digratiskan pemakaiannya. Lho, kok bisa begitu ? Kenapa di Indonesia Jalan Tol harus terus membayar? Boro-boro digratiskan, tiap tahun kasak khusuk pengelola Jalan Tol ribut ingin menaikkan tarif, dengan dalih besarnya biaya pemeliharaan(?). Lho, kok di China bisa gratis ?  Bukankah biaya pemeliharaan Jalan Tol bisa didapat dari pajak kendaraan yang tiap tahun kita bayarkan (kalau tiap mobil membayar sekitar 1 juta rupiah, dikali jutaan mobil di Jakarta?). Kan biaya pembuatannya pasti sudah BEP dengan uang yang didapat dari ribuan mobil yang antri setiap hari, di Jalan Tol Jakarta-yang sering macet- tadi? Ini anomali pertama yang saya temui di Negara Tirai Bambu ini. Daripada pusing, Saya nikmati saja pemandangan indah dari kaca bis yang melaju mantap.
      Jalan layang disini tinggi sekali. Kalau dibandingkan dengan gedung disekitarnya, saya hitung kami berkendara setara tingginya gedung 5 lantai. Ternyata memang jalan layangnya berlapis-lapis. Tak heran di lapis teratas, posisinya menjadi tinggi sekali. Saat menikung, disisi kiri kanan jalan dipasang dinding dari bahan plastik tebal. Maksudnya untuk menahan angin, yang memang terlihat kencang di ketinggian ini. Anehnya, saya lihat diflat-flat tinggi, -bahkan hingga lantai tertinggi- masih saja jendelanya diberi teralis seperti penjara. Apakah mungkin ada maling yang memanjat setinggi itu ? Oh mungkin itu untuk pengaman bagi anak-anak penghuni flat, agar jangan sampai jatuh dari jendela.
     Setelah sekitar 1,5 jam perjalanan, bis yang kami tumpangi sampai di rumah sakit yang dituju. Syukurlah perjalanan panjang hari ini berjalan lancar. Saya disambut oleh tante yang telah menunggu, dan kami pun menuju kamar tempat om dirawat. Leganya...Setelah salat dan makan, Saya merebahkan diri (Bersambung...)
      

















Ket: 2 Foto pertama di halaman ini diunduh dari google.    
   
   

Sabtu, 17 November 2012

Madu Pramuka Cibubur

Anda suka madu ? Pasti banyak yang suka  kan... Ini adalah cerita saat suatu sore kami berkunjung ke peternakan lebah madu di Cibubur. Saat itu kami sedang berada di Tol jagorawi. Begitu kami keluar Pintu Tol Cibubur, terlihat plang nama berwarna coklat bertuliskan Madu Pramuka lengkap dengan tanda panah penunjuk arah. Adik mengajak kesana, karena ada temannya yang nitip minta dibelikan madu, dan stok madu di rumah juga memang sudah habis. Langsung mobil kami arahkan masuk melalui pintu gerbang. Tempat parkir yang luas dan pepohonan hijau rimbun nan tenang menyejukkan hati. Sungguh kontras jika dibandingkan suasana kerasnya jalan Tol yang baru dilalui.


            Toko rapi dengan penjaga berseragam menyambut kami. Berbagai jenis madu berjejer rapi dengan beragam kemasan tersedia. Mulai dari botol imut hingga derigen bisa dibeli. Berbagai olahan madu pun lengkap tersedia, mulai dari royal jely hingga propolis yang lagi trend saat ini. Tak ketinggalan buku-buku tentang beternak lebah madu disediakan di tempat ini.
            Sebagai orang awam soal madu, saya baru tahu kalau jenis madu bisa sebanyak ini. Madu rupanya dikelompokkan berdasarkan jenis bunga yang sarinya dikumpulkan oleh lebah.  Jika sang lebah dilepaskan di perkebunan lengkeng yang sedang berbunga, yang dipanen madu lengkeng. Begitu pula jika sang lebah memanen sari bunga kapuk, jadilah madu kapuk. Jadi pegawai dengan membawa mobil -membawa banyak sarang lebah berisi ratu dan koloninya- bergerilya mendatangi tempat-tempat yang tanamannya sedang berbunga. 


            Sarang lebah yang telah penuh madu kemudian dikumpulkan dan diproses dengan mesin pemeras khusus untuk mengeluarkan madu dari sarang tersebut. Lalu hasil perasan disaring lagi agar didapat madu yang bersih.
            Setelah membeli beberapa botol madu, kami meminta izin kepada petugas untuk melihat-lihat peternakan lebah yang lokasinya berada di samping toko. Tak sengaja kami melihat antrian orang yang rupanya sedang menunggu untuk diterapi sengat lebah. Wah, ternyata banyak sekali manfaat lebah. Sengatannya yang menyakitkan ternyata jika diarahkan ke titik saraf tertentu, bisa dimanfaatkan untuk pengobatan.



            Peternakan lebah tidak seperti bayangan kami tentang peternakan hewan lain. Pada  peternakan ayam, kambing dan sejenisnya, biasanya hewan dikurung atau di gembala di area tertentu yang dibatasi kandang atau pagar. Ternyata lebah dibuatkan sarang berbentuk rumah mungil yang lucu dengan warna-warna mentereng. Sang ratu lebah tinggal disitu. Para lebah pekerja setiap hari berkeliling mengumpulkan sari bunga (nektar) yang lalu disimpan di sarang buatan tersebut. Selama beberapa waktu pasukan pekerja ini sibuk sepanjang hari berkeliling dan hinggap dari bunga ke bunga. 
   Jika sarang sudah penuh, pekerja peternakan lebah mengumpulkan sarang-sarang berbentuk lempeng untuk diproses. Lalu lempeng kosong yang sudah dipanen dikembalikan lagi ke sarang semula. Untuk kemudian diisi lagi dengan giat oleh pasukan lebah pekerja. Wah, kapan pensiunnya ?
Rumah-rumah mungil sarang lebah tadi diletakkan di bawah pohon-pohon rindang. Saking rindangnya, hampir tak ada cahaya matahari yang bisa tembus ke bawah. Di tempat itu terdapat puluhan sarang lebah. Berbagai tanaman tampaknya sengaja ditanam untuk dipanen sari bunganya oleh sang lebah. Ada beberapa pondok besar dari bambu tersedia di perkebunan ini. Sepertinya memang disiapkan untuk menjadi semacam gazebo atau ruang pertemuan. 


        Kami dan anak-anak menaiki salah satu gazebo yang ukurannya cukup besar. Anak-anak dengan gembira berlari-lari di dalam gazebo. Semilir angin dan rindangnya pepohonan membuat suasana makin mengasyikkan. Tak percaya rasanya tempat seasri ini berada di sebelah jalan tol.
Tempat ini ternyata difungsikan untuk memberikan pelatihan kepada oarang yang ingin belajar tentang beternak lebah madu. Secara berombongan, kelompok tersebut diberikan bimbingan oleh pegawai madu pramuka Cibubur.
Sungguh tepat jika kita membawa anak-anak ke tempat seperti ini. Selain bisa membeli madu asli yang  sangatbermanfaat, anak-anak pun bisa sekalian melihat dan belajar langsung bagaimana madu dihasilkan. Anak-anak bisa belajar mencintai alam dan menjaga lingkungan.Karena lebah hanya bisa menghasilkan madu jika pepohonan dan tanaman disekitarnya terjaga. Jika selama ini kita hanya menikmati manisnya madu, dengan datang kesini kita jadi tahu bahwa dibalik itu ada jasa besar para lebah pekerja dan pegawai peternakan madu. Lebah yang selama ini dianggap hewan yang membahayakan karena bisa menyengat, ternyata juga bisa dijadikan alat pengobatan. Sungguh tempat yang sangat berkesan.
Tak terasa hari sudah mulai sore, kami pun beranjak pulang. Tak lupa menenteng beberapa botol madu yang telah dibeli tadi. Sebagai tambahan, istri saya membeli lagi dua botol madu kemasan kecil, yang menurut penjual adalah jenis madu aneka bunga. Dengan hati puas kami pun meninggalkan tempat ini. Semoga pengetahuan yang kami dapat hari ini, bisa bermanfaat bagi anak-anak dan  tentu saja bagi kami sebagai orang tua.

Jumat, 16 November 2012

Pempek 10 Ulu Pasar Asemka

Suka pempek ? Makanan khas Kota Palembang yang satu ini sepertinya sudah digemari berbagai kalangan.  Tak perlu pergi ke Palembang untuk menikmati makanan hasil olahan ikan ini. Di berbagai kota makanan ini mudah ditemui. Rasanya yang gurih dengan cuka yang manis asam pedas membuat banyak yang ketagihan. Kalau di Jakarta, dimana bisa menemukan pempek yang enak ? 

     Pasar Asemka rasanya sudah tak asing lagi di telinga kita. Pasar yang dikenal sebagai pusat grosir penjualan mainan anak-anak ini hampir setiap hari ramai dikunjungi.  Lokasinya yang berdektan dengan daerah Kota Tua, stasiun, dan berbagai pusat perdagangan seperti Mangga Dua membuat macet menjadi hal yang lumrah kita jumpai disini. Untuk mencapai tempat ini bisa dengan berbagai cara. Namun jika Anda ingin menghindari kemacetan, kereta api bisa dijadikan pilihan pertama. Hanya beberapa ratus meter dari stasiun kota kita sudah bisa mencapai Pasar ini.
       Hari sudah siang saat kami berada di jalan Tol dalam kota. Saran dari adik yang menemani, membuat kami mengarahkan mobil ke luar menuju arah Mangga Dua. Karena memang ingin membeli berbagai perlengkapan sekolah anak dan mainan maka kami langsung mengarah ke Asemka.
      Jika beruntung, Anda bisa mendapat parkir di halaman pasar. Namun ramainya mobil box yang menaikturunkan barang membuat lahan parkir disitu biasanya penuh, sehingga akhirnya kami memilih parkir di dalam gedung. Beberapa lantai pertama hanya dikhususkan untuk kios penjualan barang, barulah di lantai 5 kita bisa memarkirkan mobil. Jangan khawatir, karena ada lift yang akan mengantarkan kita kembali untuk turun menuju lantai yang kita inginkan. Melihat kondisi gedung yang sudah tua, membuat kami awalnya mengira gedung pasar ini hanya menyediakan tangga. 
       Berbagai perlengkapan sekolah, mainan anak, asesoris, dan kosmetik tersedia disini. Harga yang ditawarkan pun ternyata benar-benar murah, jauh sekali selisihnya jika kita bandingkan dengan tempat lain. Tas anak yang pernah kami lihat harganya di sebuah mal di Depok, ternyata bisa didapat disini dengan  separuh harga. Itu pun kami hanya membeli 1 buah untuk tiap jenis barang. Menurut penjualnya, jika kami membeli dalam grosir (minimal 1 lusin), maka akan diberikan diskon. Pantas tempat ini ramai sekali. Pedagang dari berbagai daerah -termasuk dari luar Jawa-sering berbelanja barang kesini. Memang ada beberapa jenis barang yang tidak bisa dibeli satuan -seperti berbagai asesoris dan souvenir pernikahan-, namun untuk tas, mainan, dan payung, dan perlengkapan sekolah ternyata jumlah pembelian minimal tidak ada. 
     Puas berbelanja, kami kembali ke tempat memarkir mobil. Dari atas gedung pemandangan sekitar tampak jelas terlihat. Berbagai kendaraan dan orang yang lalu lalang tampak seperti tak henti bergerak. Mata kami tertuju ke spanduk di toko yang terletak di seberang gedung parkir. Spanduk tua dengan tulisan 'Pempek Palembang 10 Ulu' membuat  perut yang dari tadi diabaikan karena keasyikan belanja mendadak protes. Apalagi dari tempat kami berdiri, toko tersebut terlihat ramai dikunjungi. Segera kami masuk ke mobil dan memindahkan parkir agar berada dekat dengan toko tersebut.
     Aroma pempek lenggang yang sedang dipanggang langsung menyergap begitu berada di depan toko. Tidak seperti berbagai toko pempek di Jakarta -yang menjual pempek lenggang yang digoreng-tempat  ini menyajikan pempek lenggang sesuai aslinya di Palembang. Dipanggang secara tradisional beralas daun pisang di atas bara arang - sehingga muncul aroma khas yang menggoda selera. Hal ini tidak akan kita jumpai jika Pempek Lenggang disajikan dengan cara digoreng. Kehebohan anak-anak saat memasuki toko dengan Bahasa Palembang yang fasih,membuat sang pemilik toko yang terkantuk-kantuk di meja kasir langsung tersenyum dan berdiri menghampiri meja kami. Ternyata beliau juga orang Palembang yang sudah 30 tahun berjualan pempek disini. Dengan ramah pemilik toko memperkenalkan diri dan menawarkan berbagai menu yang ada di tempat ini.  Menurut beliau, hingga saat ini tokonya selalu menjaga citarasa dengan mendatangkan ikan dan bahan baku langsung dari Palembang. Pengolahan dan cara penyajian diusahakan sama dengan daerah aslinya.

Kami pun memesan Pempek Lenggang, Pempek Kapal Selam, Pempek Telor, dan Pempek Kulit. Sebenarnya masih ada Otak-otak, Pempek Lenjer dan beberapa jenis pempek lain yang belum kami pesan. Kalau menurutkan nafsu, semua menu ingin kami cicipi. Apalagi perut makin keroncongan mencium wanginya pempek Lenggang yang sedang dibakar.  Tapi kalau di pesan semua, kasihan pengunjung lain hehehe...
   Pemilik toko yang dengan ramah terjun langsung melayani kami membuat suasana makan menjadi spesial. Wanti-wanti beliau pada anak buahnya, agar tidak menambahkan mie kuning saat menyajikan pempek kepada kami. Di Jakarta sepertinya hal itu sudah menjadi kebiasaan, mie dicampurkan ke pempek saat disajikan. Pempek pun disajikan dalam bentuk sudah di potong-potong.  Padahal di Palembang pempek berukuran kecil, tidak perlu disajikan dalam keadaan terpotong. Apalagi tambahan mie, tak perlu sama sekali. Kecuali untuk makanan tradisional yang memang dominan mie dan pempek hanya sebagai pelengkap, yaitu Rujak Mie.


      Pempek mempunyai cita rasa yang khas. Uniknya, walau bahannya itu-itu juga ikan, sagu, dan air) tapi memberikan rasa berbeda jika orang yang mengolah berbeda. Apalagi jika terigu yang dipakai berasal dari merek berbeda. Kesegaran bahan baku menjadi syarat utama untuk membuat pempek yang nikmat. Pemilik toko pempek di Asemka ini sengaja mendatangkan bahan baku dari Palembang demi menjaga cita rasa. Tapi tak sia-sia, buktinya toko pempeknya laris manis dan mampu bertahan lebih dari 30 tahun di tengah persaingan banyaknya toko pempek di Jakarta. Rasa memang tak pernah bohong.

  Berbagai pilihan jenis kemplang dan kerupuk yang sengaja digantung di atas kepala membuat anak-anak antusias meraihnya. sebagai penutup, pemilik toko menawarkan menu es kacang merah. Wah, minuman satu ini memang sepertinya sudah menjadi jodohnya Pempek Palembang. Lidah kepedasan lebih cepat dinetralisir jika minum es kacang merah yang manis segar. Anak-anak pun antusias menghabiskan es kacang merah manis dan bertekstur lembut.
    Kumandang azan Mahgrib menyentakkan kami yang baru selesai menikmati suapan terakhir. Segera kami bergegas bersiap-siap meninggalkan toko. Pemilik toko yang ramah mengantarkan kami hingga ke pelataran parkir. Anak-anak pemilik toko dengan sumringah melepas kepergian kami. Kapan-kapan kami akan kembali menikmati kelezatan pempek di tempat ini.